Penyamakan Kulit Ramah Lingkungan
Teknologi penyamakan kulit yang konvensional belakangan ini kembali disoroti karena tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga memiliki sejumlah kekurangan dibanding penyamakan modern dengan penerapan enzim.
Industri penyamakan kulit kerap menghadapi isu lingkungan karena dalam proses produksinya banyak menggunakan bahan kimia yang termasuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
“Teknologi penyamakan kulit yang ramah lingkungan diperlukan guna pembangunan industri berkelanjutan seperti yang diamanahkan dalam industri hijau,” ujar Laszlo Szarvas dari BASF East Asia, Ltd. dalam Pertemuan Ilmiah Nasional ke-6 Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP) pada akhir Oktober 2017 lalu di Hotel Grand Inna Malioboro Yogyakarta.
Laszlo membawakan makalah mengenai teknologi penyamakan kulit yang ramah lingkungan. Teknologi ini perlu mendapatkan perhatian besar dari pemangku kepentingan di industri penyamakan kulit nasional. Tercatat selama 2012 hingga 2016, nilai ekspor industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki Indonesia mengalami tren peningkatan 6,83% dari US$3,86 miliar menjadi US$5,01 miliar.
Kulit dan produk dari kulit di Indonesia merupakan komoditi ekspor non-migas yang penting sebagai penyumbang devisa keempat setelah produk-produk: makanan, minuman, dan rokok; peralatan transportasi, mesin, dan alat mesin; serta pupuk, kimia, dan karet.
Di sisi lain, industri kulit menghasilkan limbah bahan kimia yang sangat merugikan bagi lingkungan dan makhluk hidup. Limbah yang dihasilkan dari industri penyamakan kulit ini juga menimbulkan bau yang sangat menyengat karena adanya pembusukan dari berbagai sisa kulit dan daging terutama lemak dan protein, serta limbah cair yang mengandung sisa bahan penyamak kimia seperti sodium sulfida, khrom, kapur, dan amoniak.
Limbah cair tersebut juga memiliki biological oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) yang sangat tinggi, sehingga dapat mengganggu kelestarian lingkungan dan makhluk hidup di lokasi pembuangan limbah.
Instalasi Penangan Air Limbah (IPAL) yang telah dibangun ternyata belum mampu menangani masalah limbah, mengingat besarnya volume limbah yang dihasilkan dan besarnya biaya untuk pengoperasian IPAL tersebut.
Keadaan inilah yang menyebabkan pencemaran berlangsung terus dan bahkan cenderung makin meningkat. Peningkatan pencemaran ini diperburuk oleh rendahnya tingkat kesadaran para industriawan dan rendahnya penegakan hukum oleh aparat.
Sementara itu, sebagian besar industri kulit berlokasi di Jawa yang padat penduduk, sehingga kehadiran pabrik kulit dirasakan sangat mengganggu. Hal ini disebabkan oleh proses penyamakan kulit umumnya masih menggunakan bahan penyamak kimia.
Berdasarkan permasalahan tersebut dan dalam upaya mengimplementasikan isu global tentang produk bersih atau cleaner production, perlu dicari alternatif solusi atau paling tidak dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan.
Salah satu alternatif tersebut ialah mengimplementasikan teknologi penyamakan kulit ramah lingkungan dengan menggunakan senyawa katalisa yang disebut enzim atau biokatalisa.
Penyamakan Kulit dengan Enzim Protease
Penyamakan kulit ramah lingkungan ini dilaksanakan dengan menggunakan bahan penyamak biologis dalam bentuk enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri Bacillus Megaterium. Produk ini kemudian diperkenalkan dengan nama dagang Exolite.
Pemanfaatan protease juga memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan kualitas produk, menghasilkan senyawa baru, meningkatkan nilai tambah produk, dan yang lebih penting ialah meningkatkan kualitas lingkungan.
Sementara ini, pemasok utama di bidang industri enzim masih didominasi oleh negara-negara maju, khususnya Novo dari Denmark yang menguasai pangsa pasar 40%, Gist Brocades bersama dengan Genencor Internasional dari Amerika menguasai 30%, dan sisanya diproduksi oleh industri enzim antara lain Nagase (Jepang) serta Roehm dan Boehringer (Jerman).
Saat ini, pangsa pasar enzim di dunia sebesar US$3 miliar hingga US$4 miliar dengan peningkatan 6 hingga 7% per tahun, sedangkan pangsa pasar di Indonesia hanya US$4 juta hingga US$5 juta atau sekitar 1,2% dari pangsa pasar dunia dengan peningkatan sekitar 4% per tahun.
Kebutuhan enzim di Indonesia hampir seluruhnya dipenuhi dari luar negeri (impor). Berdasarkan hal tersebut, Pusat Teknologi Bioindustri – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah merintis riset untuk produksi enzim protease dari mikroorganisme untuk penyamakan kulit.
Kelebihan dan Dampak Positif Penggunaan Enzim
Pada proses penyamakan kulit berdasarkan hasil pengujian, ternyata penambahan enzim protease pada proses penghilangan bulu terdapat sejumlah kelebihan/manfaat berikut.
• Mempermudah dan mempercepat proses penghilangan bulu (dehairing); dan sekaligus pada proses ini, bahan kimia yang biasa digunakan ialah sodium sulfida (Na2 S) yang dapat dikurangi atau bahkan ditiadakan.
• Mengurangi kerusakan bulu/rambut yang dihasilkan dari proses ini, sehingga rambut tersebut dapat digunakan untuk pembuatan produk lain, atau sebagai hasil samping dapat dijual, misalnya untuk bahan pengisi jok dan sebagainya.
• Proses bating (menghilangkan sisa-sisa daging) dapat ditiadakan, karena pemanfaatan enzim protease sekaligus dapat menghidrolisis protein sisa-sisa pada kulit. Meniadakan proses bating berarti pula meniadakan bahan kimia yang biasa digunakan pada proses ini.
• Dapat menghemat waktu karena proses penyamakan dapat dikerjakan dalam waktu yang lebih singkat.
Penambahan enzim protease pada proses penghilangan bulu berdampak positif terhadap lingkungan. Pada kasus pengujian dengan penggunaan enzim protease untuk penyamakan kulit sapi, terlihat bahwa penggunaan enzim memiliki manfaat berikut.
• Menurunkan BOD dan COD, masing-masing 12,8 % dan 32,3 % dibandingkan dengan cara penyamak konvensional.
• Mengurangi bahan pencemar yang ditimbulkan dalam proses penyamakan kulit.
• Menciptakan kondisi yang lebih aman baik untuk pekerja, lingkungan, maupun masyarakat.
Industri kulit di Magetan, misalnya, memiliki fasilitas peralatan penyamakan kulit yang lengkap.
Penambahan enzim protease pada proses penghilangan bulu ternyata juga berdampak positif terhadap kualitas kulit yang dihasilkan, di mana kualitas kulit bertambah baik dan memenuhi Standardisasi Industri Indonesia (SII).
Pengembangan industri enzim protease dan aplikasi untuk penyamakan kulit dapat menjadi alternatif solusi bagi permasalahan pencemaran oleh industri kulit. Penggunaan enzim pada proses penyamakan kulit dapat mengurangi limbah kimia, seperti H2S, ammonia, dan lemak. Di samping itu, pemanfaatan enzim dapat:
(i) meningkatkan efisiensi proses penyamakan kulit karena dapat meniadakan proses batting (menghilangkan protein);
(ii) mengurangi biaya produksi karena dapat mengurangi waktu proses dan bahan yang digunakan untuk penyamakan kulit;
(iii) dan meningkatkan kualitas kulit yang mampu memenuhi persyaratan SII.
Penggunaan enzim ini sekaligus dapat menjawab isu clean production, yaitu dengan memperkenalkan proses penyamakan ramah lingkungan, menghemat devisa dengan menurunnya biaya impor, dan dapat menciptakan lapangan kerja dengan didirikannya industri enzim protease. (Adyan Soeseno)